DaunBali, Karangasem – Desa Seraya, Kabupaten Karangasem, menyimpan sebuah tradisi kuno yang memukau, yaitu ritual Gebug Ende. Ritual ini tidak hanya menjadi pemanggil hujan, tetapi juga menjadi permainan rakyat yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat.
Asal-usul Gebug Ende berakar dari sebuah pertempuran antara Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Selaparang. Pasukan dari Desa Seraya, Angantelu, dan Bubug, yang merupakan bagian dari Kerajaan Karangasem, memenangkan pertempuran berkat turunnya hujan lebat yang dianggap sebagai pertolongan dari Hyang Widhi. Kemenangan ini kemudian memicu tradisi memohon hujan dengan melakukan ritual Gebug Ende, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Desa Seraya.
Ritual Gebug Ende melibatkan permainan antara pemain yang saling menyerang dan bertahan menggunakan alat pemukul dan penangkis yang disebut gebug dan ende. Para pemain menggunakan pakaian tradisional Bali dengan warna-warna cerah yang khas.
Tradisi Gebug Ende tidak hanya berlangsung di Desa Seraya, tetapi juga di Desa Patas, Kabupaten Buleleng, di mana masyarakat yang dulunya berasal dari Desa Seraya Barat juga mempertahankan ritual ini. Pementasan Gebug Ende dilakukan di tempat yang luas dan datar, dibagi menjadi dua bagian untuk pemain dan penonton.
Ritual dimulai dengan permohonan agar permainan berlangsung lancar dan memberikan kemakmuran bagi masyarakat. Selanjutnya, para pemain dan penonton menerima ucapan selamat datang dan nasihat dari penyelenggara sebelum permainan dimulai. Permainan dipimpin oleh seorang wasit dan diiringi oleh alat musik tradisional seperti ceng-ceng, suling, kempul, tawak-tawak, dan gamelan gong kebyar.
Aturan dalam Gebug Ende sangat dijaga, di mana pemain hanya boleh memukul dari pinggang hingga ke kepala, dan pertandingan berakhir ketika salah satu pemain tidak dapat lagi membalas serangan lawannya. Meskipun menjadi permainan yang seru, Gebug Ende juga menjadi wadah untuk mempertahankan tradisi dan solidaritas di antara masyarakat Desa Seraya dan sekitarnya.