DaunBali, Gianyar – Di tengah keindahan desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, terdapat sebuah tradisi unik yang menghiasi kehidupan masyarakat setempat, yaitu Siat Sampian. Tradisi ini rutin digelar setiap tahun di Pura Samuan Tiga, menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan pura yang kaya akan sejarah dan makna.
Pura Samuan Tiga, yang dibangun pada zaman Kerajaan Udayana pada abad ke-10 Masehi, memiliki keistimewaan sebagai tempat bersatunya sekte-sekte yang ada di Bali pada masa silam. Peristiwa ini terjadi melalui kesepakatan pesamuan yang menyepakati dewa Tri Murthi sebagai pemujaannya, dan Pura Kahyangan Tiga dibangun di setiap desa Pakraman sebagai hasil dari kesepakatan tersebut.
Tradisi Siat Sampian merupakan bagian penting dari rangkaian upacara pujawali atau piodalan di Pura Samuan Tiga. Berlokasi di areal Jaba Tengah pura, tradisi ini mengangkat kisah sejarah penyatuan sekte-sekte di Bali. Perang atau siat dalam tradisi ini menggunakan rangkaian janur atau sampian, yang dulunya merupakan perlengkapan banten (sesajen) dan kini dijadikan senjata.
Peserta Siat Sampian, baik perempuan maupun laki-laki, tidak dipilih secara sembarangan. Mereka harus melalui prosesi atau ritual mapekeling atau pawintenan, yang memungkinkan Ida Sesuhunan (Batara yang berstana) di Pura Samuan Tiga untuk menentukan siapa yang dipercaya sebagai pengayah. Hal ini menjadikan partisipasi dalam tradisi Siat Sampian sebagai suatu kehormatan dan tanggung jawab yang besar bagi masyarakat Desa Bedulu.
Meskipun jumlah peserta bisa berbeda-beda setiap tahunnya, peserta laki-laki bisa mencapai ratusan, sementara peserta perempuan biasanya ditunjuk kurang lebih 35 orang dari Desa Adat Bedulu. Masing-masing peserta yang terpilih harus menjalankan perintah dari Ida Bhatara dengan ikhlas dan senang hati, sehingga menjaga kesucian dan keaslian dari tradisi yang telah diwariskan turun-temurun ini.