DaunBali, Gianyar – Di Desa Adat Nagi, Ubud, Gianyar, Bali, tradisi Perang Api menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Pengerupukan. Minggu (10/3), warga Desa Adat Nagi berkumpul dengan sorak sorai, diiringi gemuruh suara gamelan baleganjur.
Sabut kelapa terkumpul membentuk gundukan yang disulut api, dan ketika api telah menyulut semua sabut kelapa, pemuda-pemuda Desa Adat Nagi mulai menendang dan melempar sabut kelapa yang penuh bara api. Perang api pun tak terelakkan, dengan pemuda dan pria dewasa saling melempar sabut kelapa berapi hingga langit semakin gelap.
Tradisi ini, menurut Jro Bendesa Nagi, I Nyoman Sudana, telah menjadi bagian dari warisan budaya turun-temurun di desa adatnya, dilakukan setiap Hari Raya Pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi. Tujuannya adalah untuk melebur sifat Bhuta Kala yang ada dalam diri manusia.
“Api merupakan simbol pelebur, sehingga kami yakini api yang mengenai tubuh dalam perang api ini, dapat melebur sifat Bhuta Kala di dalam diri,” ujarnya.
Meskipun tubuh terkena api dan melepuh, masyarakat yang ikut dalam perang api ini justru merasa senang, karena keyakinan mereka bahwa api dapat membersihkan hal-hal buruk di dalam diri. Sebelum perang api dimulai, peserta tradisi ini dipercikkan tirta untuk menyucikan diri dan menjaga pikiran tetap positif selama berlangsungnya perang api.
Tradisi Perang Api tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan spiritual masyarakat Desa Adat Nagi, tetapi juga merupakan wujud dari kekayaan budaya yang dijaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi.