DaunBali, Tabanan – Ada sebuah tradisi unik yang dilakukan masyarakat Belayu. Tradisi ini mengambil tempat di pusat kegiatan keagamaan, yaitu Pesimpangan Pura Batukaru. Sejak zaman kerajaan dahulu hingga kini, masyarakat Belayu memegang teguh nilai-nilai dan tradisi leluhur mereka.
Sejarah Ngaturan Saji mencatat masa-masa sulit di Kerajaan Belayu, di mana kekeringan melanda sawah dan ladang, menyebabkan kemiskinan dan kegelisahan bagi rakyat dan Raja. Namun, atas saran bijaksana dari tokoh agama dan dukungan dari Kerajaan Klungkung, tradisi Ngaturan Saji diperkenalkan sebagai solusi untuk memohon kelimpahan hasil bumi dan keberkahan bagi masyarakat Belayu.
Awalnya, upacara ini dilaksanakan di Pura Pucak Empelan, sebuah tempat suci yang dibangun untuk penyiwian Subak. Namun, untuk meningkatkan efisiensi dan kemudahan akses, acara tersebut kemudian dipindahkan ke Pura Pesimpangan Batukaru di pusat kota. Meskipun demikian, nilai-nilai dan prosesi tradisional tetap dijaga dengan ketat, termasuk pemendakan Tirta Pingit yang harus dilakukan oleh pemangku Pura Pucak Empelan.
Pemindahan lokasi pelaksanaan tidak mengubah esensi upacara, karena Pura Pesimpangan Batukaru dianggap sebagai tempat suci yang melambangkan kemakmuran bagi masyarakat Belayu, dengan pemujaan kepada Ida Bhatara Sakti Batukaru dan simbol kemakmuran lainnya.
Tradisi Ngaturan Saji tidak hanya melibatkan masyarakat Belayu di pusat Kerajaan Belayu, tetapi juga meluas ke berbagai desa adat dan wilayah kecil lainnya seperti Kukuh, Adeng, Pengembangan, Tegal Jadi, Kuwum, Pekilen, Manik Gunung, Kekeran, dan masih banyak lagi. Ini menunjukkan kekayaan budaya dan keberagaman tradisional yang tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat Belayu hingga saat ini.
Dengan semangat kebersamaan dan kesetiaan terhadap tradisi nenek moyang, masyarakat Belayu terus merayakan Ngaturan Saji setiap purnama Jiesta sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan permohonan akan kelimpahan serta keberkahan bagi masa depan yang lebih baik.