DaunBali, Badung – Setiap tahun, tepat setelah perayaan Hari Raya Nyepi, masyarakat Desa Adat Semate di Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi-Badung, Bali, merayakan tradisi unik yang dikenal sebagai Mbéd-Mbédan. Tradisi ini bukan hanya sekadar acara, tapi juga warisan budaya yang kaya akan makna dan sejarah.
Mbéd-Mbédan bermula dari sebuah musyawarah untuk menentukan nama tempat ibadah, yang kemudian berkembang menjadi tradisi “saling tarik” dalam pengambilan keputusan. Tujuan utamanya adalah menghormati bhisama Rsi Mpu Bantas, tokoh penting dalam sejarah Desa Adat Semate.
Tradisi ini pertama kali diadakan sekitar tahun 1396 atau 1474 Masehi, saat pembangunan Pura Kahyangan Tiga di Desa Adat Semate. Meskipun sempat terhenti selama beberapa dekade, tradisi ini dihidupkan kembali pada tahun 2011.
Pada Mbéd-Mbédan, bukan tali tambang yang digunakan seperti dalam perlombaan tarik tambang biasa, melainkan tali dari batang pohon menjalar yang disebut bun kalot, yang tumbuh di kuburan Desa Semate. Tradisi ini melibatkan semua lapisan masyarakat, dari generasi muda hingga orang tua, bahkan baik laki-laki maupun perempuan.
Yang membuat Mbéd-Mbédan semakin menarik adalah kehadiran “krama” atau warga yang bertugas menggelitik tubuh peserta. Saat peserta saling tarik-menarik, krama tersebut mengelitiki tubuh mereka. Ini bukan sekadar hiburan, tapi juga bagian dari strategi, karena peserta yang tidak tahan akan melepas pegangan, melemahkan kekuatan timnya.
Rangkaian Mbéd-Mbédan dimulai dengan persembahyangan di Pura Desa/Puseh, diikuti oleh prosesi pembawaan sarana upacara menuju pura dan akhirnya pelaksanaan Mbéd-Mbédan di depan pura tersebut.
Tradisi Mbéd-Mbédan tidak hanya sekadar permainan atau acara seremonial, tapi juga memperlihatkan kearifan lokal yang memperkuat ikatan sosial dan kebersamaan dalam masyarakat Desa Adat Semate.