DaunBali, Bangli – Di tengah kesibukan hari raya Tilem pertama dalam kalender Bali, Desa Adat Mengani, Kintamani, dengan segala kekhasan budayanya, mempersiapkan diri untuk menyambut rangkaian upacara Wali Panguangan. Ritual ini menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Mengani, di mana kebersamaan dan rasa syukur menjadi sorotan utama.
Rangkaian upacara Wali Panguangan tidaklah singkat. Ada sekitar 15 kali upacara menuju puncak Wali Panguangan, dimulai dari prosesi di Pura Dalem hingga ke lapangan dan Pura Desa. Namun, yang paling dinanti-nantikan adalah tradisi Ngejuk Duwe Wadak.
Tradisi ini dimulai dengan pelepasan sapi (duwe wadak) ke ladang selama setahun. Sapi-sapi ini kemudian ditangkap kembali menjelang upacara Wali Panguangan. Sebelum penangkapan, prajuru adat meminta izin ke Pura Dalem agar selamat dalam melaksanakan ritual penangkapan, karena sapi yang ditangkap dipercaya sebagai manifestasi dewa.
Prosesi penangkapan sapi menjadi momen tersendiri bagi masyarakat, seolah sebuah sayembara. Setelah sapi ditemukan, terjadilah keriuhan dan sorak-sorai dari warga. Mereka bekerja sama mengepung sapi untuk menangkapnya, sambil berharap bisa memasukkan tali sebagai simbol keberhasilan. Yang berhasil memasukkan tali akan mendapatkan imbalan berupa daging sapi saat upacara puncak.
Sapi yang ditangkap kemudian dihaturkan sesajen dan dibawa ke depan Pura Desa dengan diiringi gamelan. Sapi akan disembelih untuk upacara puncak di Pura Desa, di mana kepala sapi akan tetap digantungkan sebagai penghormatan. Setelah prosesi penyembelihan, daging sapi dibagi-bagikan kepada warga sebagai bentuk berkah.
Tradisi ini memiliki nilai-nilai kultural yang mendalam. Menjaga ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan protein hewani merupakan salah satu tujuannya. Meski dalam beberapa tahun terakhir, tradisi ini sempat hilang, namun kini telah dihidupkan kembali oleh masyarakat Mengani sebagai warisan budaya yang berharga.