DaunBali, Tabanan – Upacara Mreteka Merana atau yang lebih dikenal sebagai Ngaben Tikus menjadi sorotan khusus di Bali sebagai upacara butha yadnya yang unik. Kegiatan ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Hindu di wilayah Desa Pekraman Bedha dan Desa Bongan.
Kedua desa ini, yang mayoritas penduduknya bergantung pada pertanian, khususnya padi, telah menjadikan upacara Mreteka Merana barkaitan dengan keselamatan dan kesuburan tanaman sebagai bagian penting dalam kehidupan mereka. Upacara Mreteka Merana dilakukan secara rutin seperti Masembuhan dan Nanggeluk Merana, serta dalam keadaan mendesak seperti Ngalepeh dan Mreteka Merana.
Pelaksanaan upacara ini di Pura Puseh Luhur Bedha dianggap sebagai Loka Dresta atau kebiasaan setempat, karena dilakukan di tempat suci. Hasilnya telah memberikan dampak positif bagi kehidupan para petani setelah upacara ini dilaksanakan.
Mreteka Merana berasal dari kata “Mreteka” yang berarti mengupacarai, dan “Merana” yang berarti hama penyakit. Tujuannya adalah untuk menyucikan roh hama penyakit agar tidak kembali merusak tanaman, khususnya padi. Upacara ini sesuai dengan isi lontar seperti Sri Purana dan Dharma Pemacula yang menggambarkan Kapreteka, yang memiliki kesamaan dengan mengupacarai orang yang telah meninggal.
Meskipun sering disebut sebagai Ngaben Tikus oleh masyarakat awam, sebenarnya upacara Mreteka Merana termasuk dalam kategori Bhuta Yadnya, yang tidak membawa cuntaka atau tidak suci. Upacara ini dilaksanakan di Desa Pekraman Bedha jika hama tikus dan hama lainnya telah menyebabkan kerusakan yang luar biasa dan tidak terkendali.
Sejak tahun 2000, upacara Mreteka Merana telah dilaksanakan lebih dari enam kali, dan telah terbukti efektif dalam mengendalikan hama penyakit, termasuk hama tikus. Kesepakatan krama subak di wilayah Desa Pekraman Bedha untuk melaksanakan upacara ini menunjukkan kepedulian mereka terhadap keselamatan tanaman dan keberlangsungan hidup mereka di masa depan.